Tawuran

Waktu itu di kampung halaman. Kenapa kampung? Karena rumah saya memang masih berada di Kampung, meski Tangerang sudah dikenal sebagai Kota satelit bagi Jakarta. Kampung halaman saya bernama Kampung Cadas. Tempat di mana musik heavy metal tumbuh berkembang. Tempat di mana Ozzy Osbourne lahir dan Black Sabbath terbentuk. Tentu saja itu semua fiktif. Entah dari mana nama Cadas itu berasal. Saya masih menunggu ada seorang Indonesianis yang menulis tentang sejarah Kampung Cadas. Tapi saya rasa, harapan itu jauh panggang dari api karena Cadas bukanlah apa-apa. Hanya sebuah kampung yang berada di pinggiran Kota Tangerang, yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Tangerang. Sebuah daerah yang akan dilintasi jika akan menuju daerah pesisir utara Tangerang. Sudahlah, sejarah Cadas memang tidak penting. Karena saya juga sedang tidak ingin membahas itu di tulisan ini. Ini hanya semacam pengantar untuk memantik imajinasi kalimat dan pilihan diksi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.

Pagi itu, lupa tanggal berapa dan hari apa, saya masih dalam kondisi tidak fit. Maklum saja, sudah beberapa hari saya harus banyak istirahat dan minum obat secara rutin setiap harinya untuk memulihkan ketahanan tubuh yang tengah diserang virus yang menyebabkan penyakit typus dan konon demam berdarah dengue a.k.a DBD. Di tengah pesakitan itu, saya mencoba beraktivitas agar badan tidak terlalu kaku. Apa yang saya lakukan sering kali disebut sebagai Mencuci Motor. Ya, pagi itu keisengan telah membawa saya ke sebuah aktifitas yang cukup membutuhkan kejelian dan ketelatenan di samping kesabaran. Ketika SMA, saya cukup menggemari aktifitas ini. Mencuci motor hampir tiap hari saya lakukan. Jika pun kotor sedikit, hal paling minim yang saya lakukan adalah mengelapnya. Betul, saya tidak suka melihat motor kotor walaupun hanya setitik debu menempel di bodinya. Hingga akhirnya saya menyadari kelakuan itu cukup berlebihan. Selain menguras air, mencuci motor terlalu sering juga menguras tenaga orang tua saya yang terus mengomel karena saya tidak berhenti memoles bodi motor agar selalu terlihat kinclong. Tapi lagi-lagi bukan itu yang ingin saya tuliskan. Mari, saya lanjutkan.

Pagi itu terdengar suara gaduh di depan rumah. Banyak anak-anak sekolah yang baru pulang sekolah. Bukan pulang kantor karena mereka masih sekolah. Mereka berlari mondar-mandir ke arah barat dan ke timur. Sembari teriak-teriak. Tidak jelas apa yang mereka teriakkan, tapi kata-kata yang terdengar semacam ‘woi’, ‘sini lu’, ‘maju’, ‘mundur’ dan lain sebagainya. Apa sudah bisa menebak? Entahlah, tapi saya mengira itu semacam perkelahian anak SD. Ya, mereka sedang tawuran. Di jalanan kampung yang lebar jalannya hanya memuat satu mobil. Mereka saling berkejaran sambil menenteng atau mengacungkan benda-benda yang bisa mereka gunakan sebagai senjata untuk mengancam musuhnya. Tapi, ada yang aneh dalam perkelahian massal ini. Mereka tidak membawa senjata tajam, atau tumpul yang membahayakan. Hanya semacam benda ‘mainan’. Ada pun beberapa anak yang memegang gesper (ikat pinggang), namun tidak mereka ayunkan atau diputar di atas kepala seraya berteriak ‘majuu luuu…!‘. Ya, gesper itu hanya mereka gulung, dan dibawa lari tentunya. Hal janggal lain adalah, mereka memakai seragam yang sama. Bukan seragam putih merah lazimnya seragam siswa sekolah dasar di Indonesia. Tetapi mereka memakai seragam olahraga yang berwarna hitam-oranye. Ternyata mereka berasal dari sekolah yang sama. Lalu apa yang mereka lakukan? Berkelahi? Ternyata, mereka hanya melakukan semacam ‘simulasi’ tawuran. Mungkin karena mereka sering melihatnya di tivi-tivi, sehingga bisa memeragakannya dengan apik. Atau memang mereka pernah melihat langsung atau terlibat tawuran antarsuporter yang sering terjadi di Tangerang, antara Benteng Viola versus Benteng Mania. Atau Benteng Viola versus warga. Atau Benteng Mania versus warga. Aktor-aktor tawuran antarsuporter di Tangerang memang kerap tidak jelas. Hanya satu yang jelas, kebanyakan mereka adalah pelajar. Mulai dari tingkatan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas. Jadi, bukan tidak mungkin anak-anak yang sedang melakukan simulasi tawuran adalah mereka yang sering  ikut tawuran antarsuporter, yang kemudian menebarkannya kepada rekan-rekannya di sekolah.

Tapi saya bingung, mengapa mereka melakukan itu? Sekadar mengisi kekosongan waktu pulang sekolah? Mengeluarkan hasrat berkelahi? Ingin terlihat keren dan berani? Ingin bercanda yang tidak mainstream dengan teman-temannya? Atau apa? Saya juga kurang paham. Karena itu semua sangat mungkin menjadi motivasi mereka, meski tidak yang utama secara umum.

Beberapa kali terlintas di pikiran saya untuk menghentikan aksi-aksi mereka. Dengan berlagak sok serius, menampakkan muka marah dan kemudian bilang ‘lanjutin! kurang serius tadi tawurannya‘–bercanda kalau ini. Tapi kemudian saya urungkan karena tetiba terlintas di kepala saya masa-masa sekolah dulu, terutama saat masih di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Perkelahian memang seperti menjadi ‘permainan’ favorit di masa-masa itu, sekalipun perkelahian yang pura-pura. Ingin terlihat gagah. Suka dengan kegaduhan yang ditimbulkannya. Menikmati adrenalin yang terpacu karenanya. Sangat menggairahkan. Dan saya yakin sangat menikmati masa-masa itu dan aksi-aksi tersebut. Saya tidak ingin mengganggu kesenangan mereka dan membiarkan mereka ber-tawuran-ria meski terganggu dengan kegaduhannya.

Saya berpikir, apa salah membiarkan kultur kekerasan sedang berkembang di depan mata saya, meski hanya pura-pura? Karena di sisi lain, saya pun tidak menafikan bahwa kekerasan masih menjadi salah satu cara ampuh untuk menyelesaikan suatu masalah. Di banyak daerah di Indonesia, banyak yang mengadopsi cara kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan komunal. Salah satunya Carok di Madura. Carok merupakan tradisi masyarakat Madura dalam menyelesaikan masalah yang biasanya berkaitan dengan persoalan harga diri. Dalam Carok, kelompok yang bertikai lazimnya menggunakan senjata tajam khas Madura, clurit, untuk saling menyerang. Jika dilihat dengan menggunakan kacamata masyarakat masa kini—yang sudah banyak dicekoki nilai-nilai perdamaian semu, Carok tentu dianggap sebagai tradisi yang biadab. Barbar. Tapi tidak bagi masyarakat Madura, bahkan hingga hari ini. Karena menurut mereka, Carok adalah cara ksatria untuk menyelesaikan masalah. Lalu, apa bedanya dengan tawuran antarsekolah yang biasanya dilatarbelakangi aksi saling ejek? Mereka marah karena diejek. Tentu hal itu berkaitan dengan harga diri, bukan? Meskipun, kadang kita masih mempertanyakan alasan kemarahan mereka. Benarkah murni karena alasan harga diri, atau hanya sifat ketidakdewasaan sekelompok manusia di fase remaja. Tetapi bagi para pelajar itu, membela nama sekolah atau kelompok adalah tindakan ksatria.

*

Belakangan, kampanye antikekerasan kian marak di masyarakat dengan dorongan dari lembaga-lembaga non-pemerintah. Tentu saja itu disokong oleh negara dan korporasi demi menciptakan stabilitas bagi keberadaan modal mereka. Lihat saja, setiap konflik lahan, baik di kota maupun di desa, pemerintah dan modal yang berkepentingan selalu mendorong masyarakat untuk mengutamakan dialog atau jalan damai (baca: uang) dalam penolakannya. Sementara itu, negara dan korporasi bersiap dengan alat kekerasannya apabila masyarakat memilih untuk melakukan perlawanan dengan mengangkat kepal tangan. Diturunkanlah pasukan kekerasan yang dilegalkan negara, polisi dan tentara. Belum lagi preman-preman bayaran korporasi yang disewa untuk mengintimidasi masyarakat.

Jadi yang saya mau katakan adalah, budaya kekerasan di masyarakat memang sepertinya jangan dibiarkan hilang. Karena di saat yang sama pemerintah melegalkan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya atas masyarakat. Kekerasan yang dilegalkan untuk merebut tanah pertanian untuk pertambangan. Kekerasan yang dilegalkan untuk menggusur pemukiman warga untuk pembangunan mall dan hotel. Mungkin kekerasan harus tetap dilestarikan di masyarakat untuk melawan kesewenangan negara. Jadi, saya menyimpulkan, tidak apalah anak-anak Indonesia melestarikan tawuran. Karena selain itu, toh, setiap fase akan dilalui sekali seumur hidup. Termasuk kegemaran berkelahi di masa praremaja dan remaja. Karena begitu beranjak dewasa, mereka akan sadar bahwa apa yang mereka lakukan di masa lalu adalah luapan penasaran masa kanak-kanak mereka yang sudah seharusnya muncul dan terbuncahkan. Kekerasan atau non-kekerasan hanya soal pilihan. Tapi, situasilah yang akan menentukan opsi mana yang akan menjadi pilihan kita untuk bisa menyelesaikan suatu masalah.

*

Tiba-tiba terdengar suara, ‘iya bang, sirem aja tuh pada’, dan aku mencari pandang seorang pekerja bangunan menyirami anak-anak yang sedang bermain tawur-tawuran tersebut. ‘Pulang sekolah bukan pada pulang, dia malah pada maen berantem-beranteman. Pada ngapain kali!’. Mendadak suara riuh anak-anak tadi menghilang. Mereka bubar oleh omelan seorang ibu yang mungkin geram melihat kelakuan mereka. Dan saya pun melanjutkan mengelap motor.

yogyakarta, dua puluh delapan januari dua ribu tiga belas.

Leave a comment