Cerita Random di Penghujung Tahun

Ah, sudah enam tiga puluh pagi. Saatnya bangun karena harus bergegas-bersiap untuk menghadiri pernikahan seorang kerabat. Tapi kantuk masih mengintai.

Pagi itu, aku langsung mengambil ponsel dan menekan nomor telepon seorang teman yang aku ajak untuk menghadiri acara tersebut. Aqil, namanya—Dia memang sudah beberapa kali muncul dalam catatan-catatanku yang lain. Sekali panggilan, teleponku tak dijawab. Mungkin dia masih tidur, pikirku. Karena sebelumnya dia sudah mewanti akan sulit bangun pagi, sebab malam itu akan dia habiskan untuk nongkrong bersama kawan-kawannya. Setelah panggilanku menjadi missed call, aku pun mengatur ulang alarm di ponselku: pukul enam pagi. Ya, aku akan bangun pukul enam pagi dan akan kembali menelepon Aqil. Selain itu, aku pun bisa kembali melanjutkan tidur untuk memenuhi hasrat Sang Kantuk pagi itu. Namun, tak lama ponselku yang berganti berbunyi. Itu telepon dari si teman. Ya, itu Aqil. “Gw masih di tempat si Mif. Yaudah, gw balik siap-siap”, sapa suara di seberang telepon. Setengah mengantuk, aku mengiyakannya. Dan, melanjutkan tidur hingga pukul enam nanti.

Tak terasa, sudah pukul enam pagi. Aku bergegas mandi dan sedikit sarapan, kemudian meluncur ke rumah Aqil yang berjarak tak cukup jauh dari rumah(orang tua)ku. Tak sampai lima menit, aku sudah sampai. Aqil belum terlihat dengan pakaian seperti orang mau pergi. Akhirnya, aku singgah untuk sekadar menikmati sereal instant pagi. Lumayan untuk menambah amunisi logistik pagi itu.

Tak lama kemudian, kami berangkat dari Tangerang menuju lokasi di mana sang kerabat melangsungkan pesta pernikahannya: Desa Koranji, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Pagi itu masih terasa segar. Kami melintas di jalan Mauk-Ciruas. Jalan yang melintasi Mauk-Kronjo-Tirtayasa-Tanara-Pontang-Ciruas hingga akhirnya sampai di Serang. Cukup segar karena sepanjang jalan terhampar ladang-ladang semangka milik petani setempat. Kadang padang rumput-ilalang. Dan yang pasti, diselingi pemukiman padat warga. Perjalanan pagi itu cukup cepat kami tempuh. Masih pukul setengah sepuluh pagi saat kami tiba di Kota Pandeglang, dan hanya menyisakan sekitar empat puluh lima menit perjalanan. Akhirnya, setelah mengisi bensin, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah mini market. Mencari cemilan dan minuman.

Sekitar pukul sepuluh lewat lima belas menit, kami melanjutkan perjalanan. Siang itu masih terasa sejuk. Maklum saja, daerah yang kami lintasi memang masih rimbun dengan pepohonan, hamparan sawah dan gunung-gunung yang berdiri gagah di samping kiri-kanan jalan yang kami lewati. Hujan rintik dan kabut menambah kesejukan pada siang hari itu.

Pukul sebelas lewat, akhirnya kami tiba di lokasi. Sudah banyak orang berdatangan. Hilir-mudik orang di jalan depan rumah meramaikan suasana. Aku pun bergegas untuk masuk. Bertemu orang-orang yang ku kenal dan bertemu dengan Sang Pengantin tentunya. Terlihat membingungkan pada saat itu, karena tetiba semua orang menyambut dan menyapaku. Ya tentu saja, bingung untuk memprioritaskan siapa orang yang aku sapa-salami lebih dulu. Situasi yang biasa itu tak lama berlangsung. Kami pun dipersilakan masuk dan duduk di dalam rumah. Ruang yang nantinya penuh dengan cerita, dengan orang yang tiap menit berganti, dan makanan yang datang-pergi selama obrolan-obrolan random berlangsung. Seorang kerabat, Fajar namanya, secara tidak formal seperti didapuk untuk menjadi LO (Liasion Organizer) kami saat itu. Kami saling bertukar cerita di ruangan tersebut. Ia banyak bercerita soal perjalanan-perjalanannya di Sumatera dan Kalimantan. Merambah hutan, perkebunan sawit hingga tambang batu bara. Banyak cerita menarik darinya, tapi aku tidak akan menceritakannya di sini.

Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam.

Obrolan pun menyisakan lima orang laki-laki yang bercerita tentang banyak hal. Mulai dari pendidikan, kelangkaan bahan bakar minyak di Kalimantan, hingga persaingan antara Indonesia-Malaysia. Yang akhirnya tersimpulkan bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Aku tidak banyak menyela dalam obrolan tersebut, meski ada banyak pendapat yang ingin aku sanggah. Tapi sudahlah. Aku ingin jadi pendengar yang baik pada waktu itu. Ingin banyak menyerap informasi dari orang-orang yang sudah lebih lama merasakan getir kehidupan di negeri ini—bukan berarti yang lebih muda tidak lebih tahu, lho. Toh, ini obrolan ringan dan aku masih terlalu sungkan dengan mereka yang berusia lebih tua dariku. Masih ada rasa tidak enak. Aku kira itu wajar.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Kami harus segera bergegas untuk pulang, karena perjalanan kami akan cukup panjang. Berpamitan dengan orang-orang yang ada di ruangan tersebut, dengan orang-orang yang ku kenal, dan tentunya (sekali lagi) memberi selamat kepada Sang Pengantin. Ku ambil motor dan kami pulang.

Di perjalanan, kami berhenti sejenak. Aqil ingin berfoto dengan latar Gunung Pulosari dan Gunung Karang. Katanya, dia mau pamer kepada teman-teman yang lain dan bilang, “tahun baru gw juga naik gunung”.

Sebelum pulang ke Tangerang, kami berencana mampir ke rumah seorang temang yang ada di Kota Serang, Fauzi dan istrinya. Kali itu kami (mungkin aku) baru bertemu lagi setelah terakhir bertemu di acara pernikahan mereka. Tapi, tidak lama kami singgah di rumah Fauzi, selepas maghrib kami melanjutkan perjalanan pulang. Kali ini, kami memilih jalan lain, yang baru pertama kali kami lewati. Tentu saja itu atas saran Fauzi yang seperti sudah menjadi empunya jalan-jalan lintas Serang-Tangerang. Fauzi menuliskan (bukan) peta pada secarik kertas, titik-titik mana saja yang harus kami capai untuk bisa sampai Tangerang.

Sesuai instruksi, kami menyusuri jalan yang pertama kali kami lewati tersebut. Namun, baru beberapa instruksi, ada beberapa miss-navigation. Akhirnya kami memutuskan bertanya kepada orang-orang di pinggir jalan. “Jalan ke Pontang ke arah mana ya, Pak?” sepertinya demikian Aqil menyebutkan pertanyaannya. Lalu si Bapak paruh baya itu menunjukkan arah yang biasa kami lewati. Bukan jalan baru itu. Aku segera menyelanya, “kalo jalan ke Sawah Luhur ke arah mana, Pak?”, ia menjawab “oh, kalo ke Sawah Luhur ke arah sini” sembari menunjuk arah “lurus aja, nanti sampe Sawah Luhur. Cuma kalo mau ke Pontang, enak lewat Ciruas. Jalannya rame, bahkan sampai subuh. Kalo lewat Sawah Luhur, sepi. Emang sih lebih deket, tapi ya gitu”. Sempat terbesit kekhawatiran. Karena tetiba ingat cerita Fauzi yang pernah hampir dibegal saat melintas jalan Mauk-Ciruas yang pagi itu kami lewati. Jalan rusak, berliku dan gelap. Cocok untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan kepada pengendara yang melintas. Tapi, akhirnya ku putuskan untuk lewat jalan baru tersebut. Aku memilih lewat Sawah Luhur.

Beberapa kilometer masih ramai dengan pemukiman warga. Belum terlihat menyeramkan. Namun, beberapa kilometer kemudian kami berada di tengah jalan dengan kanan-kiri sawah membentang. Dan gelap. Khawatir kembali menghampiri. Dag-dig-dug menyeruak. Jalan itu sepi, hanya beberapa kendaraan yang terlihat melintas. Beberapa kali aku parno dengan cahaya dari belakang yang mendekat. Pilihanku, mempercepat laju sepeda motor, atau melambat dan membiarkan mereka lewat. Beruntunglah setiap firasatku salah, hingga akhirnya kami tiba di perempatan Pontang. Jalan yang sudah kami kenal dengan baik.

Sisa perjalanan dari Pontang menuju Sepatan, berlangsung lancar. Namun beberapa kali kami disuguhi pemandangan (hampir) fullmoon di ‘tepi barat bumi’. Awalnya hanya pendaran cahaya yang terlihat, karena bulan masih sembunyi di balik sisi barat bumi. Seandainya bumi bertepi, bulan terbit itu akan terlihat dari negeri mana pun pada waktu yang sama. Tetapi bumi bulat. Jika di sini kami melihat bulan berada di tepian bumi, di belahan lain pasti berada di atas kepala. Perlahan bulan itu pun mengudara, laiknya matahari yang baru terbit. Bulan itu besar, paling tidak menurutku. Dengan warna kekuningan, cahaya bulan menyinari permukaan bumi di sekitar kami, yang gelap dan hanya sedikit cahaya dari lampu-lampu rumah warga yang ikut menerangi jalan yang kami lintasi. Sesekali bulan terlihat seperti dalam film, atau cerita-cerita dalam novel fiksi. Bulan yang menggantung dengan awan hitam melintang di depannya. Seperti dalam film-film kartun horor anak-anak.

Ah, sudahlah. Apa yang ku lihat malam itu memang sulit dideskripsikan dengan tulisan. Paling tidak, saya yang tidak berkemampuan untuk itu. Haha.

Akhirnya, tiba di rumah Aqil. Sejenak merebahkan badan dan ngobrol tentang apapun dengan bapaknya Aqil. Mulai dari cerita kunjungan ke pulau, sampe soal jalan yang kami lintasi tadi. Ngoborol itu memang aktivitas yang menyenangkan, asal saja semua bisa berpikir terbuka tentang apapun yang dibicarakan. Kemudian kami teringat tentang rencana teman-teman kami yang akan naik gunung untuk merayakan pergantian tahun di puncak gunung. Teman-temanku di Jogja berangkat menuju Gunung Sindoro di Jawa Tengah. Teman-teman di Tangerang berangkat menuju Gunung Papandayan di Jawa Barat. Teman di Solo berangkat ke Gunung Lawu di Jawa Tengah. Semula, Aqil mau ikut serta ke Papandayan. Tapi gagal karena aku lebih dulu menodongnya untuk ikut ke acara pernikahan kerabat di Pandeglang. Obrolan ngalor-ngidul itu akhirnya sampai kesimpulan, “kenapa sekarang naik gunung seolah menjadi trend?”. Aqil bercerita, bahwa dia pernah terlibat obrolan dengan temannya. “Kok lu tiba-tiba jadi demen naek gunung? Gara-gara film 5cm ya?”. Aqil pun membantah itu. Aku pun berpikir demikian.. Lalu, kenapa tetiba semua di sekitarku berbicara soal gunung? Soal orang yang hilang atau tewas di gunung saat merayakan pergantian tahun. Entahlah, mungkin itu hanya kebetulan. Gunung dan 5cm mendadak di sekitar ku.

Terlepas dari itu kebetulan atau tidak. Aku punya pendapat soal aktivitas naik gunung yang belakangan jadi marak di sekitar ku. Di mana pun. Di Jogja atau di Tangerang. Atau di Solo. Atau di mana pun. Naik gunung seolah menjadi aktivitas yang ‘harus’ rutin dilakukan. Setiap bulan, bahkan setiap minggu.

Awal ketertarikan ku naik gunung tidak beda dengan rasa penasaran ku berkenalan dengan tempat-tempat baru. Tidak hanya gunung. Pulau, desa, bahkan kota sekali pun. Tapi setelah beberapa kali naik gunung, aku merasakan perasaan yang berbeda. Mungkin ini berlebihan. Tapi aku meyakini bahwa banyak orang merasakan hal yang sama ketika naik gunung: aura mistik. Apa sih mistik itu? Secara bahasa, mistik berarti: 1. subsistem yg ada dl hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; tasawuf; suluk; 2 hal gaib yg tidak terjangkau dengan akal manusia yg biasa.* Kira-kira seperti itu yang aku rasakan. Suasana sunyi di gunung, dan jauh dari ingarbingar kota, membuat kita merasakan susuatu yang gaib lebih kental. Momen di mana aku bisa merendahkan hati dan pikiran di depan agungnya gunung. Alam semesta. Berbaring di bawah taburan bintang. Atau menikmati hujan bintang, bisa menciptakan perasaan tentram di sela keruwetan kota. Atau melihat citylight yang berada di kaki gunung. Hal itu sering membuatku berpikir, apa yang aku lakukan kalo sekarang aku di kota?. Kita tidak pernah tau apa yang ada di balik kemeriahan lampu kota itu. Tapi kita bisa membayangkannya, bukan?

Jika ini disebut sebagai eskapisme, mungkin aku setuju. Bagiku, setiap tempat baru itu mempunyai nilai solutif atas persoalan-persoalan yang kita hadapi. Meski bukan menjadi pemecahan, paling tidak itu bisa mengalihkan kita dari rutinitas yang menjemukan. Tapi buatku, apa jadinya kalau naik gunung menjadi rutinitas? Apa bedanya dengan pekerjaan harian yang kita geluti setiap hari? Dalam benak ku, aktivitas naik gunung yang terlalu sering dilakoni tidak akan berbeda para pencari rekreasi dari Jakarta yang selalu memadati kawasan Puncak, Bogor di setiap pekannya. Berharap mendapat sesuatu yang baru, tetapi malah menemukan sesuatu yang tidak berbeda dari kesehariannya: macet, kepadatan, ingarbingar kendaraan. Tentu saja itu akan menjadi kejenuhan baru pada waktunya nanti. Jika aku yang melakoni, mungkin aku akan kehilangan aura mistik yang selalu ku harapkan hadir pada setiap langkah menuju puncak gunung.

Kejenuhan datang dari rutinitas. Sementara, kejutan selalu hadir pada waktu-waktu yang tak terduga.

Petualangan hari itu ku sudahi. Pulang, tidur untuk melepas lelah. Penghujung tahun yang random.

tangerang, dua januari dua ribu tiga belas

*) Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia Online