Identitas dan Kecupetan

Yang terpenting, kita harus memastikan bahwa benak kita tidak terukurung oleh cakrawala pandang kita sendiri.
— Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas

Dalam bukunya, Amartya Sen menantang keras hipotesis benturan peradaban yang dipopulerkan Samuel Huntington. Sen mencaci habis pemikiran Huntington yang dianggapnya telah melakukan simplifikasi identitas luar biasa.

Saya menyepakati hampir semua argumen Sen soal identitas di buku itu. Protes Sen bisa sangat dipahami mengingat ia telah mengalami berbagai situasi dimana suatu waktu ia menjadi minoritas dan kala tertentu menjadi mayoritas; menjadi dominan dan subordinat. Saya berusaha memahami lantaran merasa memiliki kesamaan nasib; identitas saya pun tidak sesederhana yang dinyatakan Huntington. Ada banyak identitas melekat pada diri saya, dan saya tidak akan menafikannya; Selain kala itu, saat pertama kali membaca Benturan Antarperadaban, cara berpikir saya masih sangat kental determinisme kelas. Saya menganggap bahwa klasifikasi agen-agen yang berbenturan sangat tidak masuk akal. Sama halnya ketika saya menganggap aneh Geertz yang mengklasifikasikan masyarakat Jawa ke dalam tiga kategori: santri, abangan dan priyai.

Entah kapan Sen mulai menulis buku itu (terbit pertama pada 2008), namun kian hari hipotesis Huntington tentang benturan peradaban seakan menjadi kenyataan; Barat, Islam, Budha, Amerika Latin, dst. Sejak peristiwa 911, barat vs islam sudah menjadi kenyataan. Kini, islam vs budha sudah mulai muncul. Dan masyarakat di sini tak ketinggalan ‘merayakannya’.

Tidak perlu saya bicara panjang lebar soal sindrom religion-overdose yang makin menjangkiti manusia, khususnya manusia Indonesia. Bahkan hingga lingkaran terdekat–yang membuat saya semakin jengah dengan kelakuan orang mengaku beragama. Mereka yang awalnya saya kenal cukup terbuka, kini mulai mengerucutkan diri dengan satu identitas agama tertentu, yang menurutnya adalah kebenaran mutlak. Dan ada begitu banyak teman yang dulu saya tahu tidak cukup peduli juga dengan agama, kini menjadi pengkhotbah media sosial jempolan. Ayat-ayat suci berseliweran di media sosial bak laron di musim penghujan.

Ada pula yang berseru jihad di jalan tuhan–dengan timur tengah sebagai rujukan, tentu saja–sembari merayakan kegagahan patriotisme a la NKRI. Ketidakpahaman saya terhadap hipotesis Huntington dan klasifikasi Geertz kini saya alami langsung; heran dengan mereka yang memiliki semangat jihad a la ISIS, namun masih bisa meneriakkan NRKI harga mati; Memang sih,  fasisme dan nasionalisme masih punya benang merah.

Pada dasarnya, apapun yang dipilih dan dilakukan orang-orang itu–dan orang-orang terdekat saya–tak pernah saya urusi. Silakan saja. Bahkan ketika seorang teman memilih untuk ikut aksi 411, saya hanya berpesan padanya, “hati-hati”. Bagi saya itu adalah haknya untuk mengekspresikan sikap politiknya. Tak ada yang salah. Saya pun pernah–dan mungkin masih–melakukannya.

Yang membuat saya sebal hanya satu: kecupetan. Bicara kepada orang-orang itu sama seperti bicara pada batu besar. Ketika mencoba berdialog secara sehat dan waras, yang didapat justru cacian dan tudingan tak beralasan. Tidak heran sebenarnya, mengingat mereka dapat dengan mudah menuding orang lain kafir tanpa pernah tau apa makna kata tersebut. Tidak ada dialog; tidak ada dialektika; yang ada hanya hasrat untuk menjatuhkan lawan bicara bagaimanapun caranya, tidak peduli kalaupun bantahannya gak nyambung; Atau memilih tak berargumen sambil diam-diam membenak, “Ya..ya..ya.. teserah lo aja deh”.

Sejak saat itu saya memutuskan untuk diam–sesekali terbersit mungkin saya yang arogan (karena tidak mau berkompromi dengan kecupetan?). Saya mulai menyadari–dan mengalami, bahwa melawan (meminjam istilah Sen) kedunguan rasional bahkan lebih berat daripada melawan otoritarianisme sekalipun.

One thought on “Identitas dan Kecupetan

Leave a reply to velmonth Cancel reply