Perkenalan dengan Tan Malaka

Pertama kali mengenal Tan Malaka, saya masih duduk di bangku SMA. Itu pun tidak sungguh-sungguh mengenalnya. Saya cuma tahu namanya dari paman saya, yang kebetulan ketika itu aktif di sebuah organisasi mahasiswa di Tangerang. Saat itu, seingat saya, dia sendiri belum yakin mengenalkan Tan Malaka pada saya. Belum yakin bahwa Tan Malaka adalah pejuang yang lahir di Bumi Nusantara [karena mengingat kata ‘malaka’ lebih lekat pada negara tetangga, ketimbang Indonesia.] Masa itu adalah masa yang sama saat saya berkenalan dengan Che Guevara. Akhirnya, karena minimnya informasi atau buku-buku tentang Tan, saya lebih banyak mencari tahu siapa Che Guevara. Dari sana saya mulai jatuh cinta dengan gagasan-gagasan Sosialisme. Begitu menapak bangku kuliah, saya mulai giat mencari tahu tentang tokoh-tokoh ‘kiri’ di seluruh dunia, minimal yang cukup populer di kalangan pergerakan. Termasuk Tan Malaka. Pada tahun pertama kuliah itulah, saya mendapatkan buku masterpiece Tan: Madilog. Bermula ketika seorang teman membawa buku itu ke kampus. Buku yang diterbitkan, kalau tidak salah tahun 1998 oleh Pusat Data Indikator itu, saya fotokopi. Tepatnya, kami fotokopi, karena saat itu saya mengkopi bersama seorang teman lain yang juga berminat. Harap maklum, saat itu buku-buku Tan memang masih sulit dijangkau [atau saya tidak tahu? entahlah.] Sehingga, mengkopi buku adalah yang paling mungkin, ketimbang mengambil punya teman saya itu. Saya pun tidak meminjamnya untuk dibaca, karena saya tidak yakin dapat menyelesaikannya dalam waktu singkat. Karena sekilas, isi buku itu tampak berat. Dan, memang benar. Saya butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menuntaskannya. Butuh beberapa kali mengulang untuk dapat memahami kalimat-kalimatnya. Bukan karena susunan kalimatnya buruk, tapi memang saya yang belum sampai akal mencerna seluruh hal yang tertulis di dalam Madilog. Sehingga kesan pertama saya terhadap Madilog adalah luar biasa [saat itu saya belum ‘bertemu’ dengan Das Kapital Karl Marx, yang sampai saat ini masih kerap kemumeten kalau membacanya.] Di tahun segitu, sudah ada orang Indonesia yang menulis buku seberat Madilog. Rasa penasaran saya pun berlanjut. Hingga suatu ketika, saya mendapatkan buku Patjar Merah Indonesia. Roman karangan orang bernamapena Matu Mona itu saya dapat dari paman yang mengenalkan saya dengan Tan Malaka (dengan sangsi). Meski fiksi, buku itu begitu memikat, karena mampu mendeskripsikan perjalanan dan perjuangan hidup Tan Malaka dengan dramatis. Dari sanalah saya mulai jatuh cinta pada pejuang sekaligus pemikir asal tanah Minang ini. Sampai di sana, saya semakin giat mencari karya-karyanya yang lain. Tapi sampai saat ini, saya akui, banyak dari karya Tan yang belum saya baca. Jadi saya tidak akan mengklaim bahwa saya tahu banyak tentang Tan. Tidak. Saya tidak tahu banyak. Apa yang saya tuliskan di sini hanya sekadar mengingat kembali ‘perjumpaan’ pertama saya dengan sosok Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Tan sempat menghilang selama beberapa waktu dari pergulatan saya dengan gerakan dan pemikiran. Karena saya sendiri terus mencari tahu lebih banyak orang-orang yang disebut berada “di sisi kiri dalam gedung parlemen era Revolusi Perancis.” Dan kemudian, Tan kian menghilang seiring pertemuan saya dengan Anarkisme. Selain karena sibuk mencari tahu lebih banyak tentang Anarkisme, Tan Malaka juga salah satu penentang dari gagasan tersebut. Sehingga, secara logis Tan tersingkir dari pergulatan pemikiran saya. Sebagai teenage anarchist [sebenarnya bahasa ini terlalu menggelikan buat saya, tapi demikian realitanya,] saya sempat sakit hati dengan Tan karena menyebut para anarkis sebagai orang yang mengidap demam. Dalam tulisannya, Soviet atau Parlemen?, Tan menyindir kaum anarkis sebagai pemimpi: “…tetapi kita bukan utopisten atau anarkis, yang menyangka bahwa sosialisme itu akan datang saja sesudah segala lembaga-lembaga berkuasa dijatuhkan.” Tetapi, seiring perjalanan, setelah saya mengalami pendewasaan berpikir, Tan Malaka dan gagasan-gagasannya mulai kembali lagi. Pada akhirnya, saya tetap mengakui Tan sebagai pemikir dan pejuang yang hebat. Meski saya meyakini nilai-nilai anarkisme, saya boleh mengaku bahwa saya adalah pengagum Tan Malaka. Seorang nasionalis totok, yang mencibir anarkis sebagai ‘pemimpi yang sedang demam’.

*

Selain perkenalan itu, ada hal lain yang juga berkesan bagi saya terkait dengan Tan. Di masa-masa di universitas, sebagai orang yang haus akan pengetahuan, saya kerap menghadiri diskusi-diskusi [walaupun, sampai sekarang itu masih berlaku.] Apapun. Akses informasi trekait gelaran diskusi terbilang cukup mudah, karena kebetulan saya kuliah di FISIP, di mana banyak diskusi akademis diadakan, bahkan hampir setiap minggu [mungkin tidak hanya di FISIP]. Dan pernah suatu ketika, saya menghadiri sebuah diskusi buku:Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I, yang disusun oleh sejarawan sekaligus Indonesianis yang concern dengan sejarah hidup Tan: Harry A. Poeze. Karena temanya diskusi buku, tentu sebagian besar materi yang disampaikan adalah isi buku tersebut, oleh sang penulisnya sendiri. Harry A. Poeze datang sebagai narasumber utama dalam diskusi. Tidak banyak yang saya ingat dari diskusi itu. Dan yang membuat saya berkesan [mungkin ini tidak penting bagi sebagian orang] adalah saya mendapatkan buku itu gratis dan dibubuhi tandatangan langsung oleh si penulis [kalian boleh menertawai saya.] Saya berhak atas buku itu karena saya memberanikan diri bertanya. Kalau tidak salah ingat, secara garis besar, saya bertanya tentang pergulatan Tan Malaka dan pejuang lainnya yang berasal dari Tanah Minang seperti, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Karena keberanian bertanya itulah, saya menjadi salah satu dari tiga orang yang berhak membawa pulang buku itu secara cuma-cuma. Kenapa saya bilang berani, karena saat itu saya masih terbilang cupu. Jarang punya keberanian untuk bicara di depan khalayak meski ide sudah berburai-burai di kepala. Bahkan, di kesempatan itu, saya sempat menyimpan nomor ponsel Harry selama di Indonesia. Entah untuk apa, karena sampai dia kembali ke Belanda saya tidak pernah men-dial nomor tersebut.

Hingga beberapa waktu lalu, di sebuah jejaring media sosial, saya mendapati kabar bahwa beberapa sejarawan lokal, Harry A. Poeze dan keluarga Tan Malaka melakukan finalisasi kebenaran bahwa jasad Tan Malaka berada di Selopanggung, Kediri. Dari situ, saya mengikuti perkembangannya di media-media online nasional. Konferensi pers tentang kebenaran bahwa Tan Malaka tewas di Selopanggung, hingga wacana pemindahan belulang Tan ke Kalibata, saya simak. Dari penemuan itu, petualangan Harry A. Poeze berlanjut di diskusi-diskusi di beberapa kota. Lagi-lagi, menjadi narasumber utama tentang sejarah hidup Tan Malaka sekaligus launching Jilid ke-4 buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia [sudah jilid ke-4, dan saya melewatkan dua jilid sebelumnya.] Tapi sayang, beberapa rencana diskusi tersebut terpaksa dibatalkan. Di Surabaya, tepatnya di C20 Library, diskusi dibatalkan karena desakan dari kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB). Mereka menolak apa yang mereka sebut sebagai penyebaran paham komunis. Bahkan, mereka menyebut Tan Malaka yang komunis sebagai kafir harbi. Kafir yang wajib diperangi. Padahal, dalam sebuah pidato di Kongres Komunis Internasional ke-4 di Moskow, Tan pernah berujar: “Ketika berdiri di hadapan Tuhan, saya adalah seorang Muslim. Tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya adalah seorang komunis.” Dan, setau saya, Tan juga seorang yang fasih membaca al-Quran. Mungkin memang tidak bisa dijadikan ukuran, tapi siapa yang meragukan ke-Islam-an Tan Malaka.

Akhirnya, karena desakan dari milisi sipil fasis itu, polisi tidak mau mengeluarkan izin. Namun, ternyata, bukan mereka—GUIB—yang menjadi penyebab utama pembatalan tersebut. Menurut hasil investigasi KontraS Surabaya, pihak kepolisian dan tentara-lah yang meminta secara langsung agar diskusi tersebut urung dilaksanakan. Bahkan kabarnya, seorang intel yang mendatangi panitia diskusi membentak: “Kalian tahu tidak siapa Tan Malaka? Dia itu pemberontak!” Mungkin ada benarnya Tan disebut sebagai pemberontak. Pada 1949, Tan tewas dieksekusi oleh Tentara Nasional Indonesia, dengan tuduhan: ‘pemberontak’. Tapi, bagi orang yang melek sejarah, Tan adalah seorang republiken. Dia orang Indonesia pertama yang menyebut tanah jajahan kolonial Hindia Belanda sebagai ‘Republik Indonesia’, pada tahun 1925. Yang kemudian, konsep tersebut diikuti oleh Mohammad Hatta pada 1928—dalam pledoinya di pengadilan Den Haag, dan Sukarno pada 1933—dalam tulisannya yang berjudul Menuju Indonesia Merdeka.

GUIB bukan otak dibalik pembatalan diskusi tersebut. Karena dugaan saya—seperti halnya rahasia umum bahwa FPI adalah sayap sipil bentukan tentara—mereka hanya kelompok yang dimanfaatkan oleh aparat, agar terlihat menjadi sekadar konflik horisontal. Dugaan ini mungkin diperkuat dengan pembatalan lainnya di Malang. Diskusi buku yang sama dengan narasumber yang sama, yang rencananya digelar di Universitas Brawijaya, pun urung digelar.(*) Dan kali ini, bukan atas desakan kelompok fasis berjubah, melainkan polisi itu sendiri. Ya, polisi yang meminta.

Hati saya geram, tentu saja. Walaupun kita sudah memasuki era yang katanya reformasi, komunistophobia masih terjadi laiknya di zaman Orde Baru. Terkadang saya mengutuki orang-orang tersebut. Bagaimana bisa mereka menggugat Tan Malaka; Orang yang sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Orang yang menginspirasi para founding fathers. Yang berjasa besar atas berdirinya Republik Indonesia. Saya tidak habis pikir.

 *

Meski diberangus seperti apapun, saya percaya Tan Malaka dan pemikirannya akan tetap hidup. Dulu, Tan bersumpahserapah: “Ingat! Suaraku akan lebih lantang dari dalam kubur daripada di atas bumi.” Tan Malaka adalah suara terbungkam yang akan meledak suatu hari nanti. Seperti kobaran revolusi fisik di Zaman Pergerakan. Seperti suara kaum marjinal yang akan membumihanguskan kekuasaan yang lalim. Bagi saya, Tan Malaka adalah suara kemerdekaan. Suara kebebasan.

Mungkin itu sedikit cerita tentang perkenalan saya dengan sosok dan pemikiran Tan Malaka, dan pergulatannya hingga hari ini. Si Bapak Republik Indonesia, sebut Muhammad Yamin. Sebelum menutup tulisan ini, mungkin saya akan mengutip sebuah pernyataan klise: “Meski kalah di awal, kebenaran akan menjadi pemenang pada akhirnya.”

Merdeka 100%!

 sewon, dua belas februari dua ribu empat belas

___________________________

(*) Ralat: Bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 4 sukses digelar di Universitas Brawijaya, Malang. Mohon maaf atas ketidaktelitian saya. Namun memang, informasi yang didapat belum sempat saya verifikasi. Kabar lainnya, ketika klarifikasi ini dibuat, beredar informasi bahwa rencana diskusi serupa pada 17 Februari, di Sekretariat Komunitas Hysteria  Semarang, mendapat ancaman dari ormas Pemuda Pancasila (PP). Foto surat resmi pihak PP kepada Kapolrestabes Semarang, tersebar luas di media sosial (poto bisa dilihat di sini, bila belum dihapus.)

Suara Tan Akan Tetap Lantang

Sama seperti orang waras lainnya di Indonesia, saya geram ketika mendengar kabar bahwa diskusi buku tentang Tan Malaka di C20 Library, Surabaya, dibatalkan. Penyebabnya, klise, FPI yang konon beragama itu, memaksa diskusi tersebut dibatalkan karena berbau komunis. Mereka tidak ingin komunisme kembali tumbuh di Indonesia. Aparat, yang seharusnya [ini memang selazimnya klise] menjamin keamanan setiap warga negara untuk berdiskusi dan berpendapat, malah ikut menuntut agar diskusi tersebut tidak digelar. Pihak kepolisian mengaku pada dasarnya akan memberikan izin setiap acara apapun selama tidak menggangu keamanan. Dan, polisi tidak memberi izin karena diskusi tersebut dianggap meresahkan dan menggangu keamanan.

Di mana keterancaman itu terjadi? Sejak awal rencana diskusi, yang sedianya menghadirkan sejarawan Harry A. Poeze itu, tidak ada pihak mana pun yang merasa terganggu dengan rencana diskusi tersebut. Hingga akhirnya segeremobol orang datang dan merasa terganggu dengan diskusi tersebut dan mengancam dengan kekerasan. Lalu siapa sebenarnya yang meresahkan? Siapa yang sebenarnya mengganggu keamanan?

Kegeraman saya, dan banyak orang di Indonesia, bukan kepalang. Di tengah ancaman kelompok fasis itu, polisi mendatangi pihak C20 dan mengatakan tidak bisa memberi jaminan keamanan apabila diskusi tetap dilanjutkan. Begitu pun dengan tentara. Suara mereka senada dengan ancaman FPI. Negara macam apa ini? Apa yang mereka takutkan dari Tan Malaka, yang sudah resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional sejak 1963?

Jika FPI tidak mengenal Tan, saya menganggap wajar. Mereka cuma habib oplosan yang coba membawa unta dan padang pasir ke negeri asri Nusantara. Tetapi yang tidak masuk akal bagi saya adalah ketika tentara yang konon pembela NKRI sampai mati, menggugat Tan Malaka yang tidak lain adalah penggagas awal Republik Indonesia. Dia yang mencetuskan Indonesia merdeka 100%! Bahkan para founding father bangsa ini pun banyak berguru pada Tan. Jadi bolehkah saya berkesimpulan bahwa jargon NKRI harga mati yang sering diteriakkan itu hanya klise?

Luar biasa konyol. Para tentara yang konon nasionalis, menggugat pemikiran Tan yang bahkan [saya berani jamin 100%] lebih nasionalis daripada mereka. Saya bukan nasionalis, tapi saya salah satu dari sekian ribu atau bahkan jutaan orang yang mengagumi pemikiran dan aksi Tan, yang sadar betul bahwa Tan tidak boleh dan tidak akan bisa dilenyapkan dari sejarah bangsa ini. Suatu waktu, Tan pernah berujar: Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suaraku akan lebih lantang daripada di atas bumi. Janji itu terbukti. Saya yakin, suara saya ini hanya sebagian (sangat) kecil dari sekian banyak yang mengukuhkan janji Tan.

Kita tidak bisa banyak berharap di era reformasi nan demokratis ini. Tan Malaka dan pemikiran para pendiri bangsa masih dikebiri. Lalu, apa bedanya zaman ini, yang konon menghargai kebebasan beripikir, dengan zaman Orba yang totaliter?

jogjakarta, delapan januari dua ribu empat belas